Jumat, 18 April 2014

Worship Matters (Ringkasan Bab 9 dan 10)

Ringkasan buku Worship Matters karangan Bob Kauflin. Selamat membaca.

Bab 9: ... Di dalam Yesus Kristus...
Yohanes 4:21-23, “Kata Yesus kepadanya: ‘Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan juga bukan di Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.’ ’’
Yesus bermaksud mengatakan bahwa tempat perjumpaan kita dengan Allah tidak lagi dibatasi struktur bangunan, lokasi geografis, atau waktu tertentu.
Berikut komentar D. A. Carson: Menyembah Allah di dalam ‘roh’ dan ‘kebenaran’ merupakan suatu cara untuk mengatakan bahwa kita harus menyembah Allah melalui Yesus Kristus. Di dalam Dia dimulai segala sesuatu yang baru (lihat Ibrani 8:13). Ibadah kristiani adalah ibadah perjanjian baru – ibadah yang terinspirasi Injil, ibadah yang berpusat pada Kristus; ibadah yang berfokus pada salib.
1 Timotius 2:5, “Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus.” Yesus sang pengantara kita.
Di luar karya yang sudah dilakukan oleh Kristus, kita tidak memiliki akses kepada Allah. Menurut Alkitab, tidak ada pemimpin ibadah, pendeta, band, atau lagu apa pun yang dapat mendekatkan kita kepada Allah. Sorak sorai, tarian, atau nubuat tidak dapat membawa kita ke hadirat Allah. Ibadah itu sendiri tidak dapat membawa kita kepada Allah. Hanya Yesus sendirilah yang dapat membawa kita ke hadirat Allah; Ia sudah melakukan-Nya melalui pengorbanan-Nya – sekali untuk selamanya – pengorbanan yang tidak akan diulang, tetapi perlu kita beritakan dan percayai setiap saat.
Karya Kristus di kayu salib juga memberi kita jaminan bahwa ibadah kita berkenan di hati Allah. Satu-satunya faktor utama yang membuat ibadah berkenan adalah iman dan persekutuan dengan Yesus Kristus. Persembahan rohani kita menjadi berkenan kepada Allah melalui Yesus Kristus (1 Petrus 2:5). Persembahan Yesus yang tak bercacat cela itulah yang memurnikan dan menyempurnakan persembahan ibadah kita.
Karya Kristus di kayu salib membuat kita tidak dapat berbangga atas persembahan kita. Karena tanpa Yesus Kristus dan tanpa karya-Nya di kayu salib, semua persembahan itu tidak berkenan di hadapan Allah. Saya tidak bermaksud melecehkan keahlian, latihan persiapan, kompleksitas, suasana, musikalitas, atau kesungguhan hati. Namun karya Kristus sajalah yang membuat persembahan ibadah kita berkenan di hadapan Allah. Oh, betapa melegakan!
Bagaimana kita dapat menyembah Allah dengan benar tanpa mengabaikan satu aspek pun dari hakikat-Nya? Jawabannya: kita dapat menyembah Dia sebagaimana Ia sudah menyatakan diri-Nya dalam Kristus Yesus. Allah telah memberi kita “pengetahuan tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2 Kor 4:6). Di manakah kita menemukan kemuliaan Allah? “Di wajah Kristus Yesus.” “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah” (Ibrani 1:3).
Karya Kristus di kayu salib adalah fokus ibadah di surga.  “Dan mereka menyanyikan suatu nyanyian baru katanya: ‘Engkau layak menerima gulungan kitab itu dan membuka  materai-materainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum dan bangsa. Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi’ ” (Wahyu 5:9-10).
Frederick Leahy memperingatkan kita: Ada bahaya yang perlu kita hindari, yaitu memandang ketaatan Kristus yang berlandaskan kasih itu semata-mata dilakukan-Nya demi manusia, padahal hal tersebut dilakukan-Nya pertama-tama demi kasih-Nya kepada Allah. Demi kasih-Nya kepada Allah, Ia menerima hukuman salib (Ibarani 10:7)... Betapa sering kebenaran ini terabaikan; kebenaran ini tidak melemahkan keajaiban bahwa Kristus mengasihi setiap umat-Nya dengan segenap kasih-Nya.
Salib membebaskan kita dari kasih terhadap diri sendiri yang cenderung menyesatkan. Dengan demikian, kita dapat sepenuhnya mengasihi Dia yang sudah mengasihi kita.
Setiap kali kita memimpin jemaat, kita harus memberi gambaran yang jelas tentang “kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2 Kor 4:6). Kita berkumpul bersama untuk mengabarkan kembali, mengingat, dan menanggapi Injil dan segala yang telah digenapinya.
Maka dari itu, salah satu pikiran utama kita selagi mempersiapkan ibadah hari Minggu seharusnya demikian: Apakah waktu yang kita khususkan bersama untuk beribadah memperkuat pandangan jemaat, memperdalam iman, dan meningkatkan kerinduan akan kemuliaan Allah dalam Kristus, dan pada Dia yang disalibkan?

Bab 10: ...Melalui Kuasa Roh Kudus...
Seperti halnya kita tidak dapat menyembah Allah Bapa di luar Yesus Kristus, ibadah akan menjadi suatu kemustahilan bila terlepas dari Roh Kudus. Alkitab menggambarkan Roh Kudus sebagian dari Tritunggal yang menyingkapkan realitas, kehadiran, keberadaan, dan kuasa Kristus bagi kita – bagi kemuliaan Allah.
Roh Kuduslah yang berinisiatif membuka mata kita sehingga kita menyadari dosa-dosa kita; Roh Kudus mengarahkan hati kita supaya kita percaya kepada Sang Juruselamat dan menerima pengampunan penuh. Roh Kudus menghidupkan roh kita yang tadinya mati (Galatia 5:25). Roh Kudus mengukuhkan kita bahwa kita anak-anak Allah. Roh Kudus menunjukkan apa yang sudah diberikan Allah kepada kita dengan cuma-cuma (1 Kor 2:12). Roh Kudus menghibur kita saat kita sedang dalam pencobaan. Roh Kudus menerangi kita di tengah kebingungan yang kelam dan menguatkan kita dalam pelayanan kepada sesama.
Berusaha memimpin ibadah tanpa aliran listrik adalah pengalaman yang tidak membesarkan hati. Berusaha memimpin tanpa aliran kuasa Roh Kudus sebenarnya lebih parah lagi.
Kita memerlukan kuasa Roh Kudus saat kita menyembah Tuhan. Namun apakah artinya itu? Bagaimana kita menerapkan hal itu?
Ada tiga sikap yang harus ada di bidang itu – bergantung penuh, berharap penuh, dan sikap tanggap yang disertai kerendahan hati.
Kita benar-benar perlu bergantung kepada Roh Kudus.
Allah sudah mengirim Roh-Nya untuk menolong kita. Kita mengakui kebergantungan kita dengan jalan meminta Dia memberdayakan kita dengan kuasa-Nya. Itulah sebabnya kita diajar berdoa di dalam Roh dan oleh Roh; kita diajar berdoa agar Roh Kudus bekerja (Efesus 6:18; Yudas 20; Roma 8:26).
Mengakui kebergantungan penuh kepada Roh Kudus seharusnya membuahkan rasa syukur, kerendahan hati, dan kedamaian. Kebergantungan ini seharusnya membebaskan kita dari kecemasan kita tentang apakah ibadah akan berlangsung lancar, apakah sound system akan berfungsi dengan baik, bagaimana respon jemaat kepada kita. Tentu saja, semua itu perlu kita perhatikan, namun keyakinan kita tidak bergantung pada hal-hal itu. Lagipula, kuasa Tuhan menjadi nyata bukan lewat kebolehan kita, melainkan lewat kelemahan kita (2 Kor 12:9).
Ya, Allah masih dapat melakukan apa yang dilakukan-Nya pada zaman dahulu. Ia masih bekerja; Ia masih bertindak; Ia tidak berubah. Tetapi apakah kita sungguh percaya? Secara teori, sebagian kita percaya akan kehadiran Roh Kudus yang memberi kuasa, namun sepertinya kita tidak percaya bahwa Allah aktif bekerja ketika kita sedang beribadah. Fokus kita lebih tertuju pada pelaksanaan rencana yang sudah kita buat. Di ujung ekstrim lainnya, jemaat berharap kehadiran Roh Kudus dinyatakan secara aktif, namun mereka berasumsi bahwa hal itu akan selalu termanifestasi secara spektakuler atau dengan cara yang tidak biasa.
Ketahuilah bahwa Roh Kudus sungguh hadir dan aktif bekerja setiap kali jemaat berkumpul untuk beribadah.
Jika kita menyadari bahwa kita bergantung  penuh kepada Roh Allah dan benar-benar mengharapkan Dia bekerja dalam kuasa-Nya, kita juga berendah hati dan bersikap tanggap terhadap apa yang sedang dilakukan-Nya.
Ini artinya kita memenuhi tanggung jawab dengan sukacita, pengharapan, dan kesetiaan. Tidak ada lagi yang namanya hari Minggu biasa-biasa saja. Tidak ada ibadah yang hanya rutinitas saja.
Sikap tanggap yang disertai kerendahan hati juga melibatkan kepekaan terhadap pimpinan Roh Kudus ketika kita sedang memimpin. Apa yang Roh Kudus sedang ‘katakan’ kepada kita? Mungkin kita tergerak untuk menekankan kalimat tertentu dari sebuah lagu atau mengulang bait yang berkaitan dengan tema yang relevan. Mungkin Ia mengarahkan perhatian kita pada ayat tertentu yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Penting untuk diingat bahwa hal-hal tadi tidak dapat menjadi pengganti firman Allah yang tertulis. Alkitab menjadi standar untuk menguji setiap dorongan hati yang diperoleh ketika kita sedang memimpin ibadah.
Ketika Allah berbicara kepada kita secara subyektif melalui Roh-Nya, kita perlu merespon dengan kerendahan hati.

Worship Matters (Ringkasan Bab 8)

Ringkasan Bab 8 dari buku Worship Matters karangan Bob Kauflin. Selamat membaca.

Bab 8: Mengagungkan Kebesaran Allah
“Besarlah TUHAN...”, demikianlah Daud mengingatkan kita, “dan sangat terpuji, dan kebesaran-Nya tidak terduga.” (Maz 145:5).
Daud menunjukkan titik awal yang tepat bagi kita untuk menyembah Tuhan dalam ibadah. Ibadah mencakup merenungkan, meninggikan, dan merespon kemuliaan dan keagungan Allah.
Banyak jemaat yang kita pimpin di hari Minggu rindu bergabung dengan kita; mereka sudah mengagungkan kebesaran Allah yang tidak terkira itu sepanjang minggu. Namun perhatian sebagian jemaat ada yang tersita oleh hal-hal lainnya – dari yang sepele hingga yang serius, atau seribu satu macam hal lainnya yang mewarnai kehidupan. Seberapa besarkah Tuhan di mata kita ketika pikiran ini penuh dengan segala macam kekhawatiran dan masalah hidup? Sangat kecil rupanya.
Namun Allah tidak sekecil itu. Ia mahabesar! Mengagungkan dan menghayati kebesaran-Nya adalah inti ibadah yang alkitabiah.
Seorang pemimpin ibadah menggemakan imbauan Daud dalam Mazmur 34:4, “Muliakanlah TUHAN bersama-sama dengan aku, marilah kita bersama-sama memasyhurkan nama-Nya!” Prioritas kita yang pertama saat berkumpul adalah memuliakan Tuhan.
Pimpinlah secara jelas dan spesifik. Setiap kali kita memimpin jemaat menyanyikan pujian bagi Tuhan, kita berdiri di hadapan orang-orang yang – sama seperti kita – cenderung lupa siapa Tuhan. Manusia cenderung lupa mengapa Tuhan amat sangat layak disembah. Kita dipanggil untuk mengingatkan mereka dengan jelas dan spesifik, apa yang sudah dinyatakan Tuhan tentang diri-Nya.
John Owen menulis dengan bijak, “Jangan sampai kita menjadi puas dengan pemahaman yang samar-samar tentang kasih Kristus, atau yang sedikit pun tidak menebarkan kemuliaan-Nya ke dalam benak kita.” Konsep-konsep yang tidak jelas tentang Tuhan tidak mendewasakan kita maupun jemaat yang kita pimpin. Jika lagu-lagu kita isinya tidak berbeda dari lagu-lagu kepercayaan lainnya, ini saatnya kita mengubah daftar lagu itu.
Tentu, lagu-lagu bukan teologi sistematika. Lagu adalah puisi, mencakup lambang dan metafora kreatif – pohon-pohon bertepuk tangan, lautan menggemuruh. Namun jangan sampai lagu-lagu kabur maknanya atau pun memuat arti ganda. Seharusnya lagu-lagu dapat dengan akurat berbicara tentang Tuhan dan memuji satu-satunya Tuhan yang sudah menyatakan diri-Nya dalam Pribadi Sang Juruselamat, Yesus Kristus.
Kalau lagu-lagu kita tidak berbicara secara spesifik tentang sifat, karakter, dan perbuatan Tuhan, kita cenderung mengartikan ibadah sebagai salah satu tipe musik, keadaan emosi yang melambung tinggi, bangunan dengan arsitektur tertentu, nama hari, sebuah perkumpulan, suasana khidmat, waktu untuk bernyanyi atau bunyi-bunyian semata. Lebih parah lagi, kita membuat persfektif kita sendiri tentang Tuhan, membayangkan Dia sesuka hati kita sendiri.
Jadi, bagaimana supaya jiwa-jiwa yang kita pimpin mengagungkan kebesaran dan kemuliaan Allah di hati dan pikirannya masing-masing? Untuk itu Allah sudah memberi kita kitab Mazmur. Kitab Mazmur menggelar tiga kategori di mana kita dapat mengagungkan kebesaran Allah: firman-Nya, sifat-Nya, dan pekerjaan-Nya.
Firman Allah adalah penyataan diri-Nya kepada kita. Jadi, sang Pemazmur mendeklarasikan, “Kepada Allah, firman-Nya kupuji, kepada TUHAN, firman-Nya kupuji, kepada Allah aku percaya” (Maz 56:11-12). Dikatakan juga bahwa firman TUHAN itu sempurna, teguh, tepat, murni (Maz 19:8-10).
Dari perspektif kelahiran dan kenaikan Tuhan Yesus, kita dapat melihat kebesaran Allah dalam wujud tritunggal-Nya. Kita menyembah Bapa, Anak, dan Roh Kudus yang dalam kekekalan memiliki hakikat, kesetaraan, dan kemuliaan yang sama. Satu Allah dalam tiga pribadi. Sesungguhnya, ibadah merupakan undangan dari Allah Tritunggal agar kita mengambil bagian dalam persekutuan dan sukacita yang telah disediakannya dari kekekalan, sebelum dunia diciptakan. Kita dipilih untuk bergabung dengan-Nya, menyatakan keagungan, kesempurnaan, dan keindahan-Nya yang tiada batas.
Jadi, bagaimana mungkin seseorang berpikir bahwa menyembah Tuhan adalah hal yang membosankan. Kekudusan, kemuliaan, dan kedaulatan-Nya tidak terbatas. Kebenaran, hikmat, dan kekayaan-Nya tak habis-habisnya.
Salah satu masalah yang kita hadapi:  sering kali kita lebih tertarik dengan apa yang kita lakukan daripada dengan apa yang sudah Tuhan kerjakan. Karena kita cenderung lupa, ibadah jemaat seharusnya menolong kita disegarkan oleh apa yang sudah Tuhan lakukan bagi kita.
Mazmur merupakan contoh bagi kita dalam memuji Tuhan. Puji-pujian ini mengarah pada penyingkapan yang lebih lengkap lagi tentang kemuliaan Allah dalam Yesus Kristus. Ia sudah menyatakan semuanya itu agar kita dapat menyembah Dia. Itulah sebabnya buku-buku yang paling berguna bagi saya untuk mempersiapkan diri memimpin ibadah bukan buku-buku renungan sehari-hari yang acap membawa Tuhan ke level saya, melainkan buku-buku teologi yang memperkaya pengenalan saya akan Tuhan.
Alkitab berulang-ulang memperlihatkan fakta bahwa kebenaran tentang Allah memerlukan respons. Bahkan kita diperintahkan untuk merespons. (Filipi 4:34; Maz 31:24a; Maz 100:2a). Kita memuliakan Tuhan ketika kita bersuka di dalam Dia (Maz 34:9). Bila kita di tengah-tengah penderitaan dan kesesakan itu mengingat lagi sifat-sifat Allah, saat itulah kita menyembah Dia (Maz 77: 8-10).

Jadi, mengagungkan kebesaran Allah melibatkan pengakuan iman kepercayaan kita dan kasih yang mendalam kepada Tuhan.

Sabtu, 12 April 2014

Worship Matters (Ringkasan Bab 7)

Bab 7: Pemimpin Ibadah yang Setia
Beberapa tahun terakhir, penyembahan menjadi istilah yang populer. Sepuluh dari kelima puluh album top Kristen di Amerika Serikat adalah album penyembahan. Suksesnya pemasaran album rohani berlabel worship sudah mengubah puji-pujian yang dinyanyikan di dalam gereja, pula mempengaruhi pengertian kita tentang penyembahan.
Tentu saja, di mata Tuhan penyembahan selalu merupakan waktu yang istimewa. Namun maraknya komersialisasi musik penyembahan dan laju kepopulerannya mempunyai sisi negatifnya pula. Misalnya, kita terpancing untuk berpikir bahwa kita akan lebih efektif kalau terlihat, terdengar, dan bertingkah seperti worship leader tersohor.
Namun industri rekaman musik penyembahan bukanlah standar yang Allah berikan untuk menentukan keefektifan. Firman-Nya – itulah standar kita.
Standar apa pun yang digunakan orang lain untuk menilai pelayanan kita, Allah menghendaki kita setia. Kesetiaan berarti tekun melakukan pekerjaan pelayanan, memegang perkataan, memenuhi tanggung jawab. Ini juga berarti loyal, konstan, dapat diandalkan.
Menjadi setia berarti memenuhi keinginan yang bukan berasal dari diri kita sendiri. Bukan kita yang menentukan pelayanan, melainkan Tuhan.
Paulus berkata kepada jemaat di Korintus: “Demikianlah hendaknya orang memandang kami: yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai” (1 Kor 4:1-2).
Godaan. Berbagai godaan dapat membuat kita tidak setia dan tidak dapat dipercaya, salah satunya adalah popularitas. Harold Best berkata, “Pelayanan dan popularitas sudah menjadi sangat erat kaitannya sehingga popularitas adalah hal yang hampir selalu terbersit di benak seseorang ketika ia sedang memikirkan pelayanan di bidang musik.” Bukan itu yang dikehendaki Allah.
Kita juga tergoda untuk menilai keberhasilan pelayanan dengan angka, misalnya berapa orang yang hadir di hari Minggu. Jumlah orang yang lebih banyak tidak selalu berarti bahwa kita menyenangkan Tuhan.
Kita juga terbias karena mengimpor “mentalitas konser”. Kita menyusun acara, menyanyikan lagu ibadah terkini, dan mempesona orang-orang dengan efek-efek (tata cara berkonser, suara, cahaya lampu, gambar, dan musik) yang menarik.  Tujuan kita sebagai pemimpin ibadah berbeda dari tujuan konser mana pun, lagipula jauh lebih signifikan. Kita melayani supaya jemaat terpesona oleh kemuliaan Sang Juruselamat yang melampaui keadaan sekeliling dan melebihi teknologi tercanggih.
Setia memimpin. Roma 12:8 mengatakan bahwa para pemimpin harus memimpin dengan sungguh-sungguh (atau “dengan rajin”). Memimpin jemaat menyembah Tuhan memerlukan energi, kesungguhan, dan kepekaan. Walaupun kita tidak tahu pasti jemaat akan memberi respons dalam ibadah, kita akan menuai apa yang kita tabur. Berfokus pada musik, akan menuai keinginan agar suara menjadi lebih baik, progresi menjadi lebih sejuk, aransemen menjadi lebih kreatif. Berfokus pada emosi, akan menuai ibadah yang hanya menginginkan gelora emosi. Menabur bagi kemuliaan Allah, menuai buah-buah dari jemaat yang terkagum-kagum akan kebesaran dan kebaikan Tuhan.
     Kepemimpinan yang setia tidak selalu mendatangkan pujian, tepuk tangan, atau penghargaan. Buah dari kepemimpinan yang setia ialah mengetahui bahwa kita menyenangkan Dia. Kita bersukacita bukan karena sudah memimpin ibadah dengan sempurna atau memperoleh penghargaan. Tujuan kita bukanlah sukses, popularitas, atau pun kepuasan pribadi. Tujuan kita ialah mengantisipasi – oleh anugrah Allah dan bagi kemuliaan Yesus Kristus – bahwa kita suatu saat akan mendengar, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Matius 25:21, 23). Itu upah terbesar.

Worship Matters (Ringkasan Bab 6)

Catatan berikut merupakan lanjutan ringkasan sebelumnya. Selamat membaca. Semoga bermanfaat bagi kita.

Bagian 2 :   PEKERJAAN PELAYANAN
                         Seorang Pemimpin Ibadah

Bab 6: Jadi, apa yang dilakukan seorang pemimpin ibadah?
Kalau Anda lahir sesudah 1980, mungkin Anda sudah langsung akrab dengan istilah worship leader (pemimpin ibadah). Istilah ini sebetulnya tidak dikenal sebelum tahun 1970.
Seorang pemimpin ibadah sebetulnya hanyalah bagian dari jajaran kepemimpinan musik dalam gereja. Para biduan, pemimpin paduan suara, pengiring ibadah, penyanyi tunggal, dirigen musik, pemimpin nyanyian, organis – semuanya memainkan peranannya. Gereja Tuhan sudah menggunakan segala cara mulai dari nyanyian a cappella, gitar, hingga orkestra lengkap dengan dua ratus orang dalam paduan suara. Namun semuanya tidak selalu mengagumkan.
Pemimpin ibadah sudah menjadi terlalu signifikan.  Menurut Gordon MacDonald, bagi kebanyakan orang muda, pemimpin ibadah menjadi faktor yang lebih penting daripada pengkhotbah.
Musik dalam gereja memang sungguh penting. Tetapi apakah musik lebih penting daripada pengajaran Alkitab yang solid, yang menolong saya bertumbuh dalam pengenalan dan ketaatan pada firman-Nya? Jawabannya: Tidak!  Jadi, sepenting apakah seorang pemimpin ibadah? Apa yang seharusnya dilakukannya? Jawabannya tidak mudah.
Pertama-tama, sulit menemukan peranan yang jelas dari seorang pemimpin ibadah dalam Alkitab, khususnya dalam Perjanjian Baru. Betul, kita dapat menimba beberapa prinsip penting dari kaum Lewi dalam Perjanjian Lama (1 Taw 16:1-7; 37-42; 25:1-8). Namun kita tidak dapat mentransfer semua yang dulu mereka lakukan pada apa yang kita lakukan pada masa kini. Mereka menjadi bayang-bayang Imam Besar Agung yang sempurna, Yesus Kristus.
Kedua, pemimpin ibadah yang paling penting adalah Yesus Kristus. Ia menyingkapkan Allah kepada kita. Melalui pengorbanan-Nya yang sempurna, Ia menjadi satu-satunya jalan menuju Allah Bapa (1 Tim 2:5; Ibrani 10:19-22).
Kita tidak dapat melakukan apa yang hanya dapat dilakukan oleh Yesus. Tetapi di tengah budaya yang sarat musik, seringkali ada harapan yang keliru bahwa seorang pemimpin ibadah dapat mengantar kita ke hadirat Tuhan, memimpin kita ke depan takhta Allah, atau membuat Allah hadir.
Ketiga, istilah ‘pemimpin ibadah’ sendiri dapat disalah-pahami. Istilah itu cenderung mengkomunikasikan bahwa satu-satunya saat kita menyembah Tuhan ialah ketika kita dipimpin seorang pemusik, atau bahwa Allah memerintahkan kita untuk mempunyai pemimpin ibadah.
Tidak ada satu pun pernyataan di atas ini yang benar. Ibadah dapat mengikutsertakan musik, tetapi dapat juga dilakukan tanpa musik. Dan aspek-aspek peranan pemimpin ibadah dapat disimpulkan dari Alkitab, tidak ada persyaratan supaya kita mempunyai seorang pemimpin ibadah.
Sebagaimana yang saya pahami, seorang pemimpin ibadah menggunakan berbagai karunia yang dijabarkan dalam 1 Korintus 12, Roma 12, Efesus 4, dan dalam ayat-ayat lainnya. Karunia-karunia itu meliputi penggembalaan, kepemimpinan, administrasi, dan mengajar.
Sebuah kerangka defenisi untuk istilah pemimpin ibadah, dengan pertolongan Jeff Purswell, guna memperjelas pemahaman tentang pelayanan yang Tuhan percayakan kepada saya di gereja. Hasilnya seperti ini:
Seorang pemimpin ibadah yang setia meninggikan kebesaran Allah dalam Yesus Kristus melalui kuasa Roh Kudus dengan memadukan firman Allah dengan musik secara terampil, oleh karenanya memotivasi jemaat untuk mewartakan Injil, menikmati kehadiran Tuhan, dan hidup bagi kemuliaan-Nya.

Minggu, 06 April 2014

Worship Matters (Ringkasan #3)

(lanjutan...)

Bab 4: Tanganku. Apa yang kulatih?
Tentu Tuhan dapat saja bekerja melalui kita meski kita melakukan kesalahan, tidak kompeten, dan kurang latihan. Tetapi Ia menghargai kecakapan. Kecakapan adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan baik. Ketika Daud mencari seorang Lewi untuk dijadikan pemimpin nyanyian, ia memilih Kenanya sebab ia ‘paham dalam hal itu’ (1 Taw 15:22). Atas ilham Roh Kudus, Daud menulis bahwa para pemain musik harus ‘memetik kecapi dengan baik-baik’ (Maz 33:3). Sebagai raja atas rakyatnya, Daud sendiri ‘menuntun mereka dengan kecakapan tangannya’ (Maz 78:72). Dalam perjanjian baru, Paulus menyebut dirinya ‘ahli bangunan yang cakap’ (1 Kor 3:10). Tuhan memandang penting keahlian. Demikian pula seharusnya kita.
Lima hal penting yang perlu diingat mengenai kecakapan:
a.        Kecakapan adalah pemberian Allah, bagi kemuliaannya.
Tiada seorang pun dari kita yang dapat memuji diri atas kebolehan kita. C. J. Mahaney berkata, “setiap bakat dari Tuhan ditujukan untuk mengarahkan perhatian kita kepada-Nya dan menyegarkan kasih kita kepada-Nya.”
b.        Kecakapan harus dikembangkan.
Kita membaca dalam 1 Tawarikh 25:7 bahwa pemusik yang melayani di Kemah Pertemuan adalah mereka yang telah ‘dilatih bernyanyi untuk TUHAN – mereka sekalian adalah ahli seni’.
Pemusik terbaik menghabiskan waktu yang terhitung banyaknya untuk mengasah bakatnya. Kalau Anda ingin meningkatkan ketrampilan, maka Anda perlu mengembangkan kecakapan Anda, walaupun itu hanya 15 menit sehari atau 1 jam seminggu. Dalam jangka panjang, hal itu akan membuahkan hasil. “Anda bisa! Yang diperlukan adalah bakat ala kadarnya, lalu berlatihlah empat jam sehari selama empat tahun,” kata Bob Kauflin.
c.          Kecakapan tidak membuat ibadah lebih berkenan di hadapan Tuhan.
Sebagai pemimpin ibadah, kita kesal ketika kita salah memainkan intro, salah memainkan kunci, atau lupa syair lagu. Sebaliknya, kita senang sekali kalau semuanya berjalan lancar. Namun, Allah tidak mendengarkan suara musik kita atau kualitas performa kita. Ia mendengarkan suara hati kita. Tuhan tidak mencari sesuatu yang brilian; Ia mencari sesuatu yang hancur remuk. Kita tidak akan pernah membuat Tuhan terkesan akan keahlian atau ketrampilan musik kita. Apa yang membuat terkesan ialah ‘hati yang remuk dan hancur’ (Maz 51:19).
Kita memerlukan karya penebusan Sang Juruselamat untuk menyempurnakan persembahan ibadah kita kepada-Nya (1 Pet2:5).
d.        Kecakapan perlu dievaluasi orang lain.
Masukan yang saya terima dari tim sepelayanan dan rekan-rekan lainnya selama latihan atau seusai ibadah sangat berharga. Mendengar masukan yang jujur dari mereka yang saya percayai tentunya sangat bermanfaat dan mengajar saya tetap rendah hati.
Selain itu, jangan terlalu senang jika minggu demi minggu kita mendengar pujian dari orang-orang yang berkata, “saya sangat diberkati dengan pelayananmu sebagai pemimpin ibadah.” Walau tulus, pujian mereka tidak akan selalu membantu Anda bertumbuh.
e.        Kecakapan bukan suatu tujuan akhir.
Jika kita terlalu menjunjung tinggi kecakapan, hal ini akan menghasilkan buah yang buruk. Kecakapan menjadi suatu berhala. Kita berlatih  secara berlebihan dan menjadi tidak sabar ketika orang lain membuat kesalahan.
Allah ingin kita menyadari bahwa tujuan latihan bukanlah untuk menerima pujian, melainkan untuk membawa kemuliaan bagi nama-Nya.
Dalam hal apakah kecakapan menolong kita?
-    Kecakapan menolong kita berfokus kepada Allah. Bagaimana Anda dapat konsentrasi menyembah Tuhan selagi memimpin? Menjadi lebih terampil. Tujuan latihan bukan untuk melakukan sesuatu sampai kita melakukannya dengan benar. Tujuannya adalah sampai kita tidak salah-salah lagi.
-            Kecakapan menolong kita melayani jemaat.
-            Kecakapan akan melipatgandakan kesempatan melayani.
Kecakapan yang harus dikembangkan:
-            Kepemimpinan. Seorang pemimpin yang baik akan mengarahkan perhatian jemaat pada apa yang paling penting, membuat pilihan-pilihan yang membantu kita memiliki fokus.
-            Musikalitas.
a.         Aspek teknis. Seorang musisi benar-benar mempunyai kemampuan memainkan atau menyanyikan apa pun yang diperlukan dalam situasi saat itu. Tergantung instrumen musiknya, aspek ini mencakup latihan tangga nada, pergerakan chord, teknik memetik senar gitar, latihan irama ketukan yang berbeda-beda, atau latihan vokal.
b.        Aspek teori. Memahami bagaimana musik bekerja. Musisi yang tidak mengerti teori musik pasti akan bingung sendiri kalau mereka tiba-tiba lupa saat memainkan lagu.
c.         Aspek selera. Mengenal apa yang cocok. Selera mencakup dinamika, penjiwaan, pola ritme, pembagian suara instrumentasi. Berkenaan dengan selera musik, mungkin hal yang paling menantang ialah mengetahui apa yang perlu ditanggalkan atau dibuang. Memainkan lebih banyak not jarang menjadi sesuatu yang efektif.
Berapa lama waktu latihan yang ideal? Tergantung dari aktivitas Anda sehari-hari dan apa gol dan tujuan Anda. Setidaknya, Anda perlu dengan mulus memainkan lagu-lagu yang Anda perlu mainkan.
-            Komunikasi.
-            Teknologi.

Bab 5: Hidupku. Apa yang kucontohkan?
“Jangan seorang pun menganggap engkau rendah karena engkau muda. Jadilah teladan bagi orang-orang percaya, dalam perkataanmu, dalam tingkah lakumu, dalam kasihmu, dalam kasihmu dan dalam kesucianmu.” (1 Tim 4:12)
              Timotius adalah seorang pemimpin; orang-orang memperhatikan dia, mengamati dia, dan belajar dari apa yang mereka lihat. Jadi, Paulus dengan bijak menasihati Timotius: Jadilah teladan... Nasihat ini berlaku juga bagi kita.



(Bagian 1: SELESAI)

Worship Matters (Ringkasan #2)

(lanjutan...)

Bab 3: Pikiranku. Apa yang kupercayai?
Terlepas dari apa yang kita pikirkan dan rasakan, tidak akan ada ibadah yang berkenan kepada-Nya kalau tidak ada pengenalan yang benar tentang Allah. Ia ingin kita ‘mengasihi kebenaran’ tentang Dia (2 Tes 2:10). Kita menyembah Dia yang mengatakan bahwa Dia adalah kebenaran dan juga menegaskan bahwa ‘kebenaran itu akan memerdekakan kamu’ (Yoh 14:6; 8:32). Allah menghendaki setiap orang ‘memperoleh pengetahuan akan kebenaran’ (1 Tim 2:4). Dan Ia menyatakan murka-Nya kepada mereka yang menindas kebenaran dengan kelaliman (Roma 1:18).
Sebetulnya saat kita berbalik dari apa yang benar tentang Allah, saat itu juga kita sudah terlibat dalam penyembahan berhala.
Dari manakah kita memperoleh pengetahuan yang benar tentang Tuhan? Dari kebenaran yang tersingkap di dalam Alkitab. Seorang pemimpin ibadah yang hanya sepintas lalu saja membaca Alkitab tidak akan dapat menjadi pemimpin ibadah yang setia. Tetapi, bagaimanakah kita dapat memahami segalanya yang dikatakan Alkitab tentang Allah? Diperlukan proses pembelajaran yang mendalam dan disiplin.
Teologi dan doktrin. Ibadah yang Alkitabiah tidak dapat dipisahkan dari kedua hal tersebut. Secara harafiah, teologi berarti belajar tentang Tuhan. Doktrin adalah ‘apa yang diajarkan’ Alkitab mengenai topik tertentu, seperti ibadah, atau kekudusan, atau gereja, atau karunia Roh. Paulus berkata kepada Titus bahwa seorang pemimpin jemaat “harus berpegang pada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran yang sehat, supaya ia sanggup menasehati orang berdasarkan ajaran itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya” (Titus 1:9).
Belajar doktrin adalah belajar Alkitab. Keduanya tidak bertentangan. Itulah cara kita mencari tahu seperti apakah Tuhan itu, apa yang Ia ingin kita percayai, bagaimana Ia menghendaki kita menyembah Dia. Jadi, kita perlu membaca, kita perlu belajar, karena kita memang akan terus belajar tentang Tuhan seumur hidup.
• Anggapan keliru no. 1: Mempelajari hal-hal ini seharusnya tidak susah-susah. Kita hidup pada zaman yang serba instan.  Hanya dengan 15 menit Saat Teduh, kita berharap dapat mengalami perubahan hidup. Kita membuka Alkitab, tetapi sesudah membaca dua paragraf, kita merasa bosan kalau tidak ada hal yang menarik perhatian kita. Kita ingin segalanya sudah diringkas dan dipermudah supaya kita tidak perlu lama berpikir, juga tidak perlu mengambil waktu untuk secara mendalam memeriksa kehidupan kita pribadi.
Sikap seperti itu tidak dapat diterima kalau kita ingin mengumandangkan kemuliaan Tuhan melalui lagu-lagu setiap hari Minggu. Belajar mengenal Tuhan adalah proses yang memakan banyak waktu. Tidak ada jalan pintas. Tidak lain, jalannya hanya ketekunan seumur hidup.
• Anggapan keliru no. 2: Kita dapat mengenal Allah dengan lebih dalam lagi melalui musik daripada melalui kata-kata.
Musik tidak dapat menggantikan kebenaran tentang Allah. Musik tidak dapat menolong kita memahami arti keberadaan Tuhan, peristiwa Allah menjadi manusia, atau penebusan yang dilakukan Kristus demi menanggung hukuman dosa manusia. Permainan instrumental tidak dapat menjelaskan kepada kita bagaimana musik berfungsi dalam penyembahan kepada Allah. Untuk memahami semua itu kita perlu membaca Alkitab. Untuk mengerti apa yang dikatakan Alkitab, kita perlu teologi yang benar. Teologi yang benar membantu kita menempatkan musik pada tempatnya yang benar. Musik bukan tujuan ibadah.
• Anggapan keliru no. 3: Teologi dan doktrin memunculkan masalah.
Teologi dan doktrin sebetulnya membuat hidup lebih sederhana. Kedua hal itu mencegah kita menafsirkan ayat-ayat Alkitab di luar konteks, mencegah kita berpegang hanya pada ayat-ayat favorit saja, juga mencegah kita mengambil keputusan atas dasar perasaan saja. Teologi dan doktrin memperjelas konsep yang sering kali kita gunakan secara kurang tepat, seperti konsep tentang kemuliaan, Injil, keselamatan, dan kasih.
Semakin kita belajar tentang Tuhan, semakin kita perlu menyadari bahwa apa yang sudah kita ketahui tidak sebanding dengan apa yang belum kita ketahui (Roma 11:33-36).
Doktrin dan teologi yang diterapkan dengan benar justru akan menyelesaikan masalah, bukan menciptakan masalah.
Penutup bab ini: Hati dan pikiran itu serangkai. Kerinduan yang kuat dan mendalam kepada Tuhan muncul sebagai hasil dari proses belajar tentang Tuhan (pribadi-Nya, karakter-Nya, dan pekerjaan-Nya). Pada gilirannya, kerinduan ini akan mendorong kita semakin tekun lagi belajar tentang Tuhan.
Kalau doktrin kita benar, tapi hati kita dingin terhadap Tuhan, ibadah kita bisa saja benar namun tidak hidup. Atau kalau kita mengekspresikan kasih yang menyala-nyala kepada Tuhan, tapi menyalurkan pemahaman yang kabur, tidak akurat, serta tidak utuh, ibadah kita seolah semarak, tetapi salah kaprah – kemungkinan besar juga membias kepada ilah lain. Kedua hal ini tidak membawa kemuliaan bagi Tuhan.
             Kita harus lebih akrab dengan Firman Tuhan daripada dengan instrumen musik kita. Berharap orang-orang akan pulang dari ibadah yang kita pimpin dengan perasaan yang lebih mengagumi Tuhan daripada musik kita.


(bersambung...)

Worship Matters (Ringkasan #1)

Catatan berikut ini merupakan ringkasan buku Worship Matters karangan Bob Kauflin. Saya ingin membagikan apa yang saya nikmati dari buku ini (di bagian 1). Semoga bermanfat bagi kita, khususnya bagi pribadi yang terlibat dalam pelayanan ibadah atau pelayanan pujian dan musik. Selamat membaca.

Bagian 1 : Sang Pemimpin
Bab 1: Hal-Hal Penting
Jangan menggenggam sesuatu pun bagi diri Anda.
Di bagian ini Bob Kauflin menjelaskan tentang apa yang bermakna. Dimulai dengan pergumulan-pergumulannya sebagai pemimpin ibadah. Di mana suatu ketika ia pernah merasa hampa. Gersang. Tak bermakna. Menjadi pemimpin ibadah adalah hal yang dilakukan berulang-ulang. Di samping itu, ia juga berpikir bahwa memimpin umat Tuhan dalam ibadah adalah hal yang memuaskan, menyenangkan, penuh binar-binar semangat, dan mengubah kehidupan.
Menurutnya, pergumulan lain yang dialami oleh pemimpin ibadah bisa berupa: menghadapi kritik dari jemaat, menegur pemain musik yang sombong, mengajarkan lagu baru kepada jemaat, merasa seperti orang munafik ketika memimpin ibadah. Tidak memiliki cukup waktu untuk merencanakan, mempersiapkan, belajar, dan berlatih dengan tim musik.
Di bagian akhir, Bob memberikan masukan bagi para pemimpin ibadah, baik pemula maupun yang sudah sering melayani, agar tidak mengalami —merasa semua hampa, gersang, tak bermakna—seperti yang pernah ia rasakan. Namun, dalam anugrah Tuhan, ia pernah diingatkan bahwa, “Seperti itulah kalau tanpa Aku—tak bermakna.”
             Ibadah itu bermakna. Ibadah bermakna bagi Allah karena Dialah satu-satunya yang layak disembah. Ibadah bermakna bagi kita karena menyembah Allah adalah tujuan kita diciptakan. Dan ibadah bermakna bagi pemimpin ibadah karena tidak ada kehormatan yang lebih tinggi daripada  memimpin orang-orang untuk menatap kebesaran Allah. Oleh karena itu, penting sekali untuk memikirkan dengan cermat, apa yang kita lakukan, dan mengapa kita melakukannya.


Bab 2: Hatiku. Apa yang kukasihi?
Tantangan terbesar apakah yang Anda hadapi sekarang sebagai pemimpin ibadah? Mungkin memilih lagu, relasi dengan pendeta di gereja, menerima masukan dari jemaat, atau memimpin tim musik yang anggotanya individualistis?
Bukan! Tantangan Anda yang terbesar berkaitan dengan apa yang Anda sendiri bawa ke mimbar setiap Minggu. Hati Anda.
Kita masing-masing mengalami peperangan yang bergejolak di dalam diri kita menyangkut apa yang paling kita kasihi —Tuhan atau sesuatu yang lain?
Jika ada sesuatu yang lebih kita cintai dan utamakan, dan sesuatu itu menggantikan Tuhan dalam hidup kita, berarti kita sedang terlibat dalam penyembahan berhala.
Firman Tuhan mengatakan bahwa penyembahan berhala adalah perangkap terbesar yang dihadapi umat Tuhan. Berhala membelenggu kita dan membuat kita malu (Yesaya 45:16, Mazmur 106:37). Berhala tidak dapat menolong kita; malahan membuat kita sama seperti dirinya (Mazmur 115:8).
Ada banyak berhala. Bentuknya bermacam-macam – kenyamanan lahiriah, jaminan keuangan, kenikmatan seksual. Para musisi memiliki berhalanya masing-masing – popularitas, musik, keunggulan akademis, peralatan elektronik terbaru dan tercanggih, pakaian yang sedang trend. Berhala yang paling kuat adalah yang paling tidak terlihat – hal-hal seperti reputasi, kuasa, dan pengaruh.
Menarik, di bab ini Bob Kauflin menceritakan kisah pergumulannya dalam hal mencintai diri sendiri, bukan mengasihi Tuhan. Ia mengaku, ia ingin orang-orang memujanya –mengakuinya, mengaguminya, dan menghujaninya dengan tepuk tangan. Keinginan untuk mencuri kemuliaan Tuhan. Hingga ia kalah. Sampai-sampai berpengaruh pada fisiknya –ia sakit . Merasa total tidak berdaya. Hal yang bisa kita pelajari dari pengalamannya adalah jangan merampas kemuliaan Tuhan –kita pasti kalah.
Tuhan ingin kita mengasihi Dia lebih daripada musik dan alat musik, lebih daripada semua yang kita miliki, lebih daripada hidup kita sendiri. Kita tidak dapat mengasihi hal-hal lainnya secara benar kalau kita belum mengasihi Tuhan lebih daripada semuanya itu.
            Bagaimana saya mengetahui mengetahui apa yang paling saya cintai? Dengan melihat kehidupan saya di luar hari Minggu. Apa yang paling saya nikmati? Kebanyakan dari waktu yang saya miliki digunakan untuk apa? Apa yang saya pikirkan di waktu luang? Apa yang membuat saya bersemangat? Apa yang saya beli? Apa yang membuat saya kesal kalau tidak berhasil memperolehnya? Kehilangan apa yang cenderung membuat saya depresi? Kehilangan apa yang paling saya takuti? Jawaban atas semua itu akan menunjukkan siapa yang sebenarnya kita sembah – Allah atau berhala.


(bersambung...)