Bab
7: Pemimpin Ibadah yang Setia
Beberapa tahun terakhir, penyembahan menjadi istilah yang
populer. Sepuluh dari kelima puluh album top Kristen di Amerika Serikat adalah
album penyembahan. Suksesnya pemasaran album rohani berlabel worship sudah mengubah puji-pujian yang
dinyanyikan di dalam gereja, pula mempengaruhi pengertian kita tentang
penyembahan.
Tentu saja, di mata Tuhan penyembahan
selalu merupakan waktu yang istimewa. Namun maraknya komersialisasi musik
penyembahan dan laju kepopulerannya mempunyai sisi negatifnya pula. Misalnya,
kita terpancing untuk berpikir bahwa kita akan lebih efektif kalau terlihat,
terdengar, dan bertingkah seperti worship
leader tersohor.
Namun industri rekaman musik penyembahan
bukanlah standar yang Allah berikan untuk menentukan keefektifan. Firman-Nya – itulah standar kita.
Standar apa pun yang digunakan orang lain
untuk menilai pelayanan kita, Allah menghendaki kita setia. Kesetiaan berarti
tekun melakukan pekerjaan pelayanan, memegang perkataan, memenuhi tanggung
jawab. Ini juga berarti loyal, konstan, dapat diandalkan.
Menjadi setia berarti memenuhi keinginan
yang bukan berasal dari diri kita sendiri. Bukan kita yang menentukan
pelayanan, melainkan Tuhan.
Paulus berkata kepada jemaat di Korintus: “Demikianlah hendaknya orang memandang kami:
yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah. Yang akhirnya dituntut dari pelayan-pelayan
yang demikian ialah, bahwa mereka ternyata dapat dipercayai” (1 Kor 4:1-2).
Godaan. Berbagai godaan dapat membuat kita
tidak setia dan tidak dapat dipercaya, salah satunya adalah popularitas. Harold
Best berkata, “Pelayanan dan popularitas sudah menjadi sangat erat kaitannya
sehingga popularitas adalah hal yang hampir selalu terbersit di benak seseorang
ketika ia sedang memikirkan pelayanan di bidang musik.” Bukan itu yang
dikehendaki Allah.
Kita juga tergoda untuk menilai
keberhasilan pelayanan dengan angka, misalnya berapa orang yang hadir di hari
Minggu. Jumlah orang yang lebih banyak tidak selalu berarti bahwa kita
menyenangkan Tuhan.
Kita juga terbias karena mengimpor
“mentalitas konser”. Kita menyusun acara, menyanyikan lagu ibadah terkini, dan
mempesona orang-orang dengan efek-efek (tata cara berkonser, suara, cahaya
lampu, gambar, dan musik) yang menarik.
Tujuan kita sebagai pemimpin ibadah berbeda dari tujuan konser mana pun,
lagipula jauh lebih signifikan. Kita melayani supaya jemaat terpesona oleh
kemuliaan Sang Juruselamat yang melampaui keadaan sekeliling dan melebihi
teknologi tercanggih.
Setia memimpin. Roma 12:8 mengatakan bahwa
para pemimpin harus memimpin dengan sungguh-sungguh (atau “dengan rajin”). Memimpin jemaat menyembah Tuhan memerlukan energi,
kesungguhan, dan kepekaan. Walaupun kita tidak tahu pasti jemaat akan memberi
respons dalam ibadah, kita akan menuai apa yang kita tabur. Berfokus pada
musik, akan menuai keinginan agar suara menjadi lebih baik, progresi menjadi
lebih sejuk, aransemen menjadi lebih kreatif. Berfokus pada emosi, akan menuai
ibadah yang hanya menginginkan gelora emosi. Menabur bagi kemuliaan Allah,
menuai buah-buah dari jemaat yang terkagum-kagum akan kebesaran dan kebaikan
Tuhan.
Kepemimpinan yang setia tidak
selalu mendatangkan pujian, tepuk tangan, atau penghargaan. Buah dari
kepemimpinan yang setia ialah mengetahui bahwa kita menyenangkan Dia. Kita bersukacita
bukan karena sudah memimpin ibadah dengan sempurna atau memperoleh penghargaan.
Tujuan kita bukanlah sukses, popularitas, atau pun kepuasan pribadi. Tujuan
kita ialah mengantisipasi – oleh anugrah Allah dan bagi kemuliaan Yesus Kristus
– bahwa kita suatu saat akan mendengar, “Baik
sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia” (Matius 25:21,
23). Itu upah terbesar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar