Ringkasan buku Worship Matters karangan Bob Kauflin. Selamat membaca.
Bab 9: ... Di dalam
Yesus Kristus...
Yohanes 4:21-23, “Kata Yesus kepadanya: ‘Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya
akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan juga bukan di
Yerusalem. Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang
kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan
datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah
Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah
demikian.’ ’’
Yesus bermaksud mengatakan bahwa tempat
perjumpaan kita dengan Allah tidak lagi dibatasi struktur bangunan, lokasi
geografis, atau waktu tertentu.
Berikut komentar D. A. Carson: Menyembah Allah
di dalam ‘roh’ dan ‘kebenaran’ merupakan suatu cara untuk mengatakan bahwa kita
harus menyembah Allah melalui Yesus Kristus. Di dalam Dia dimulai segala
sesuatu yang baru (lihat Ibrani 8:13). Ibadah kristiani adalah ibadah
perjanjian baru – ibadah yang terinspirasi Injil, ibadah yang berpusat pada
Kristus; ibadah yang berfokus pada salib.
1 Timotius 2:5, “Karena Allah itu esa dan
esa pula Dia yang menjadi pengantara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus
Yesus.” Yesus sang pengantara kita.
Di luar karya yang sudah dilakukan oleh
Kristus, kita tidak memiliki akses kepada Allah. Menurut Alkitab, tidak ada
pemimpin ibadah, pendeta, band, atau
lagu apa pun yang dapat mendekatkan kita kepada Allah. Sorak sorai, tarian,
atau nubuat tidak dapat membawa kita ke hadirat Allah. Ibadah itu sendiri tidak dapat membawa kita kepada Allah. Hanya Yesus sendirilah yang dapat
membawa kita ke hadirat Allah; Ia sudah
melakukan-Nya melalui pengorbanan-Nya – sekali untuk selamanya –
pengorbanan yang tidak akan diulang, tetapi perlu kita beritakan dan percayai
setiap saat.
Karya Kristus di kayu salib juga memberi
kita jaminan bahwa ibadah kita berkenan di hati Allah. Satu-satunya faktor
utama yang membuat ibadah berkenan adalah iman dan persekutuan dengan Yesus
Kristus. Persembahan rohani kita menjadi berkenan kepada Allah melalui Yesus
Kristus (1 Petrus 2:5). Persembahan Yesus yang tak bercacat cela itulah yang
memurnikan dan menyempurnakan persembahan ibadah kita.
Karya Kristus di kayu salib membuat kita
tidak dapat berbangga atas persembahan kita. Karena tanpa Yesus Kristus dan
tanpa karya-Nya di kayu salib, semua persembahan itu tidak berkenan di hadapan
Allah. Saya tidak bermaksud melecehkan keahlian, latihan persiapan,
kompleksitas, suasana, musikalitas, atau kesungguhan hati. Namun karya Kristus
sajalah yang membuat persembahan ibadah kita berkenan di hadapan Allah. Oh,
betapa melegakan!
Bagaimana kita dapat menyembah Allah dengan
benar tanpa mengabaikan satu aspek pun dari hakikat-Nya? Jawabannya: kita dapat
menyembah Dia sebagaimana Ia sudah menyatakan diri-Nya dalam Kristus Yesus.
Allah telah memberi kita “pengetahuan
tentang kemuliaan Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2 Kor 4:6). Di
manakah kita menemukan kemuliaan Allah? “Di
wajah Kristus Yesus.” “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah”
(Ibrani 1:3).
Karya Kristus di kayu salib adalah fokus
ibadah di surga. “Dan mereka menyanyikan suatu nyanyian baru katanya: ‘Engkau layak menerima
gulungan kitab itu dan membuka
materai-materainya; karena Engkau telah disembelih dan dengan darah-Mu
Engkau telah membeli mereka bagi Allah dari tiap-tiap suku dan bahasa dan kaum
dan bangsa. Dan Engkau telah membuat mereka menjadi suatu kerajaan, dan menjadi
imam-imam bagi Allah kita, dan mereka akan memerintah sebagai raja di bumi’ ”
(Wahyu 5:9-10).
Frederick Leahy memperingatkan kita: Ada
bahaya yang perlu kita hindari, yaitu memandang ketaatan Kristus yang
berlandaskan kasih itu semata-mata dilakukan-Nya demi manusia, padahal hal
tersebut dilakukan-Nya pertama-tama demi kasih-Nya kepada Allah. Demi kasih-Nya
kepada Allah, Ia menerima hukuman salib (Ibarani 10:7)... Betapa sering
kebenaran ini terabaikan; kebenaran ini tidak melemahkan keajaiban bahwa
Kristus mengasihi setiap umat-Nya dengan segenap kasih-Nya.
Salib membebaskan kita dari kasih terhadap
diri sendiri yang cenderung menyesatkan. Dengan demikian, kita dapat sepenuhnya
mengasihi Dia yang sudah mengasihi kita.
Setiap kali kita memimpin jemaat, kita
harus memberi gambaran yang jelas tentang “kemuliaan
Allah yang nampak pada wajah Kristus” (2 Kor 4:6). Kita berkumpul bersama
untuk mengabarkan kembali, mengingat, dan menanggapi Injil dan segala yang
telah digenapinya.
Maka dari itu, salah satu pikiran utama
kita selagi mempersiapkan ibadah hari Minggu seharusnya demikian: Apakah waktu
yang kita khususkan bersama untuk beribadah memperkuat pandangan jemaat,
memperdalam iman, dan meningkatkan kerinduan akan kemuliaan Allah dalam
Kristus, dan pada Dia yang disalibkan?
Bab 10: ...Melalui
Kuasa Roh Kudus...
Seperti halnya kita tidak dapat menyembah
Allah Bapa di luar Yesus Kristus, ibadah akan menjadi suatu kemustahilan bila
terlepas dari Roh Kudus. Alkitab menggambarkan Roh Kudus sebagian dari
Tritunggal yang menyingkapkan realitas, kehadiran, keberadaan, dan kuasa
Kristus bagi kita – bagi kemuliaan Allah.
Roh Kuduslah yang berinisiatif membuka mata
kita sehingga kita menyadari dosa-dosa kita; Roh Kudus mengarahkan hati kita
supaya kita percaya kepada Sang Juruselamat dan menerima pengampunan penuh. Roh
Kudus menghidupkan roh kita yang tadinya mati (Galatia 5:25). Roh Kudus
mengukuhkan kita bahwa kita anak-anak Allah. Roh Kudus menunjukkan apa yang
sudah diberikan Allah kepada kita dengan cuma-cuma (1 Kor 2:12). Roh Kudus
menghibur kita saat kita sedang dalam pencobaan. Roh Kudus menerangi kita di
tengah kebingungan yang kelam dan menguatkan kita dalam pelayanan kepada
sesama.
Berusaha memimpin ibadah tanpa aliran
listrik adalah pengalaman yang tidak membesarkan hati. Berusaha memimpin tanpa
aliran kuasa Roh Kudus sebenarnya lebih parah lagi.
Kita memerlukan kuasa Roh Kudus saat kita
menyembah Tuhan. Namun apakah artinya itu? Bagaimana kita menerapkan hal itu?
Ada tiga sikap yang harus ada di bidang itu
– bergantung penuh, berharap penuh, dan sikap tanggap yang disertai kerendahan
hati.
Kita benar-benar perlu bergantung kepada
Roh Kudus.
Allah sudah mengirim Roh-Nya untuk menolong
kita. Kita mengakui kebergantungan kita dengan jalan meminta Dia memberdayakan
kita dengan kuasa-Nya. Itulah sebabnya kita diajar berdoa di dalam Roh dan oleh
Roh; kita diajar berdoa agar Roh Kudus bekerja (Efesus 6:18; Yudas 20; Roma
8:26).
Mengakui kebergantungan penuh kepada Roh
Kudus seharusnya membuahkan rasa syukur, kerendahan hati, dan kedamaian.
Kebergantungan ini seharusnya membebaskan kita dari kecemasan kita tentang
apakah ibadah akan berlangsung lancar, apakah sound system akan berfungsi dengan baik, bagaimana respon jemaat
kepada kita. Tentu saja, semua itu perlu kita perhatikan, namun keyakinan kita tidak bergantung pada hal-hal
itu. Lagipula, kuasa Tuhan menjadi nyata bukan lewat kebolehan kita,
melainkan lewat kelemahan kita (2 Kor 12:9).
Ya, Allah masih dapat melakukan apa yang
dilakukan-Nya pada zaman dahulu. Ia masih bekerja; Ia masih bertindak; Ia tidak
berubah. Tetapi apakah kita sungguh percaya? Secara teori, sebagian kita
percaya akan kehadiran Roh Kudus yang memberi kuasa, namun sepertinya kita
tidak percaya bahwa Allah aktif bekerja ketika kita sedang beribadah. Fokus
kita lebih tertuju pada pelaksanaan rencana yang sudah kita buat. Di ujung
ekstrim lainnya, jemaat berharap kehadiran Roh Kudus dinyatakan secara aktif,
namun mereka berasumsi bahwa hal itu akan selalu termanifestasi secara spektakuler
atau dengan cara yang tidak biasa.
Ketahuilah bahwa Roh Kudus sungguh hadir
dan aktif bekerja setiap kali jemaat berkumpul untuk beribadah.
Jika kita menyadari bahwa kita
bergantung penuh kepada Roh Allah dan
benar-benar mengharapkan Dia bekerja dalam kuasa-Nya, kita juga berendah hati
dan bersikap tanggap terhadap apa yang sedang dilakukan-Nya.
Ini artinya kita memenuhi tanggung jawab
dengan sukacita, pengharapan, dan kesetiaan. Tidak ada lagi yang namanya hari
Minggu biasa-biasa saja. Tidak ada ibadah yang hanya rutinitas saja.
Sikap tanggap yang disertai kerendahan hati
juga melibatkan kepekaan terhadap pimpinan Roh Kudus ketika kita sedang
memimpin. Apa yang Roh Kudus sedang ‘katakan’ kepada kita? Mungkin kita
tergerak untuk menekankan kalimat tertentu dari sebuah lagu atau mengulang bait
yang berkaitan dengan tema yang relevan. Mungkin Ia mengarahkan perhatian kita
pada ayat tertentu yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Penting untuk diingat bahwa hal-hal tadi
tidak dapat menjadi pengganti firman Allah yang tertulis. Alkitab menjadi
standar untuk menguji setiap dorongan hati yang diperoleh ketika kita sedang
memimpin ibadah.
Ketika Allah berbicara kepada kita secara
subyektif melalui Roh-Nya, kita perlu merespon dengan kerendahan hati.